Belum pernah review film sebelumnya di sini, tapi saya rasa perlu menyalurkan yang satu ini dalam tulisan supaya lega hati dan pikiran saya yang berhasil dibuat kacau setelah selesai dan lampu bioskop menyala.
Banyak orang bilang film ini absolute cinema, Tepat 18 Juli 2025 sudah delapan hari tayang dan belum ada yang berikan rating dibawah 9. Semua reviewer film menjelaskan sesuatu yang bahkan mungkin kalian gak akan terspoiler dan sulit mengerti atau memahami kalau gak nonton sendiri. Saya sudah nonton tepat satu minggu setelah film ini tayang (17 Juli kemarin). Tentu saya tidak nonton sendiri. Butuh teman untuk 'melampiaskan' kekaguman akan film ini. Hal pertama yang mau saya bilang adalah, "Indonesia keren banget! Perfilman Indonesia bisa maju dan menandingi film internasional. Gue bangga!"
Setelah saya nonton ini side effect yang paling terasa ada dua: (1) Saya merinding berulang kali saking terpesonanya dengan alur, plot, sinematografi, dan every little detail dari film ini. (2) Saya sesak napas dan terdiam literally terdiam mematung selama beberapa menit setelah lampu bioskop menyala.
Ada rasa yang tertinggal, rasa yang gak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saya gak lebay. Coba tanya saja sama sebagian orang yang nonton pasti mereka sulit menjelaskan perasaan yang ditimbulkan dari film ini. Apalagi ini karya orang Indonesia. Sebuah karya yang berani. Belum pernah ada pengalaman menonton yang berbeda seperti ini. Tidak, saya tidak menangis sama sekali, hanya berkaca-kaca sedikit diujung cerita, tapi air tidak mengalir di mata, padahal udah sediain tissue jaga-jaga, malah teman menonton saya yang menangis, btw dia seorang laki-laki, sepupu baik saya. Tetapi, pikiran saya bermain dan tidak berhenti memutar dan berpikir terus berpikir sampai saya memutuskan menulis di sini masih saja berpikir, hati saya penuh dengan kehangatan tetapi juga sesak, mata saya sepertinya tidak banyak berkedip deh. Suara tepukan tangan yang meriah secara otomatis terjadi di bioskop tepat saat lampu dinyalakan, seperti gala premiere yang ada produser + artisnya padahal saya nonton di hari ke-7 tayang dan tidak ada kejutan artis. Yup! Tentu saja, bioskop penuh. Akkhhh bagus sekali film ini.Saya mau cerita tentang film ini pun, saya gak bisa. Gak tahu kenapa gak bisa.
But, mari kita coba menjelaskannya pelan-pelan. Dari POV saya yang baru satu kali nonton dan langsung terkesima parah.
Kita mulai dari, ini bukan sekedar film romansa. Jangan harapkan ada romansa yang menggelitik dari film ini. Romansa remaja yang baru pertama kali jatuh hati tidak ada dalam plot film ini. Romansa yang diceritakan sangat dewasa, romansa dua orang yang sudah dewasa. Saya rasa ini lah romansa yang sesungguhnya. Dua insan yang siap untuk menerima setiap kekurangan dan merayakan kelebihan. Ah saya pun bingung apakah ada kelebihan yang dirayakan? atau sedang mengungkapkan sebuah kisah magis menerima kekurangan secara brutal dan ugal-ugalan. Jarang film genre romance menunjukkan sisi kelemahan yang dicintai dengan ugal-ugalan, seringkali hal-hal kecil manis yang membuat genre itu menjadi romance. Tapi film ini beda. Beda. Tidak ada adegan sensasional untuk mengekspresikan cinta, bahkan kissing pun tidak ada, tapi kekuatan cinta terasa lebih kuat daripada semua drama romantis yang pernah saya tonton. Akting dari pemain karakter Sore (Sheila Dara) dan Jo (Dion Wiyoko) sangat luar biasa. Hanya dengan tatapan, gerak dan bahasa tubuh, serta kegigihan kita bisa memahami bahwa itu ketulusan dan keintiman cinta sejati. Background musik yang dipilih oleh sutradara dan penulis naskah (Yandy Laurens) sangat tepat. Saya bisa katakan musik dan setiap bagian lirik sangat tepat. Sekali lagi sangat tepat! Saya suka sekali lagu Terbuang Dalam Waktu - Barasuara, Pancarona - Barasuara, Hingga Ujung Waktu - Sheila On 7, Gaze - Adhitia Sofyan, dan ada rentetan lagu yang akkhhh mematikan jiwa sekali. Spotify membuat Playlist khusus dengan judul, Sore: On Aux. Sekali lagi sangat manis, tenang, terhormat kisah romansa yang dipaparkan di dalam cerita film Sore: Istri dari Masa Depan ini. Saya melihat dan memahami makna dari cinta sejati yang setia, sabar, belajar memahami, menerima, dan memberi kesempatan bukan hanya satu dua kali tapi berkali-kali. Mungkin pada awalnya ada unsur memaksa yang dibungkus cinta, tetapi kemudian belajar memahami dan menerima sungguh halus sekali dipaparkan. Cinta sejati juga tentang bertumbuh dan berubah menjadi lebih baik. Sejak lama saya tidak setuju dengan perkataan, "Aku rela mati untuk kamu." Bagaimana mungkin kematian ditaruhkan dalam cinta? Saya lebih suka mengatakan, "Aku mau hidup untuk dan bersamamu." Akkhh... Penulis sungguh ingin memaparkan gambaran dari Cinta Sejati. Kutipan yang paling saya suka dalam bahasa Kroasia adalah, "Da moram živjeti deset tisuća života, uvijek bih izabrala tebe." yang artinya: Jika aku harus menjalani sepuluh ribu kehidupan, aku akan selalu memilih kamu.
Lalu, tentang relasi yang lebih luas. Bukan hanya pasangan suami-istri. Tetapi persahabatan, orangtua dan anak, dan relasi lainnya. Saya selalu sensitif dengan relasi. Saya selalu berusaha untuk menjaga relasi dengan orang-orang terdekat. Tetapi sepanjang usia saya sampai saat ini, sudah banyak juga relasi pertemanan dan persahabatan yang berakhir asing. Hanya karena ada unsur 'mengontrol', 'memaksa', dan 'berekspektasi' walau itu semua baik, namun terkadang itu baik menurut pandangan satu orang sedangkan pihak lain belum tentu punya pemikiran yang sama. Film ini mengajarkan bahwa sesuatu yang baik bagi kita jika disampaikan dengan cara yang salah, akan sulit sampai kepada mereka. Benar seperti kutipan dalam film ini, "Orang berubah bukan karena rasa takut, tetapi karena dicintai." Kayak, oke saya sudah tahu semua teori ini bahkan dalam praktik juga sudah, tetapi kemasan yang disajikan film ini sungguh memukau kembali semua paham saya.
Kemudian, tentang waktu. Ini tidak bisa saya jelaskan dengan eksplisit. Waktu itu selalu menjadi dimensi yang paling rumit dan paling membingungkan serta menakutkan bagi saya. Putarannya cepat, dia tidak menunggu kita. Ada satu plot dari kisah ini yang menunjukkan bahwa sang waktu itu marah. Aduh bagian ini sungguh mengerikan. Kemarahan manusia dan alam ternyata bisa kalah menakutkan dibandingkan dengan waktu yang marah. Pada saat waktu marah, kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Oleh sebab itu kata-kata Sore sangatlah menusuk ketika ia berkata, "Jangan biarkan aku hilang ditelan waktu." Perkataan lain ketika ia mengganti perkenalannya dari "Hai, aku Sore, istrimu dari masa depan" menjadi, "Hai, aku Sore, istrimu selamanya." Saya sulit menjelaskannya, kalau kamu berkesempatan untuk nonton film ini, tontonlah dan pahami sendiri. Dimensi waktu adalah hal yang paling menakutkan.
Hal berikut yang saya sukai adalah, tentang diri. Ini personal. Saya juga tidak bisa menjelaskan ini dengan jelas. Satu hal yang pasti sejak nonton ini, saya jadi lebih mengerti bahwa selama saya hidup ini, bukan masa depan yang saya khawatirkan, bukan masa depan yang membuat saya takut melangkah dan akhirnya menghasilkan konflik dengan mental dan orang-orang terdekat, bukan itu. Hal yang paling saya takutkan justru diri saya sendiri. Hal yang menghambat atau bahkan membuka jalan itu adalah diri saya sendiri. Saya sedang berperang dengan diri saya dan itu adalah pergulatan terbesar yang saya rasa dialami oleh setiap individu. Saya jadi kurang setuju dengan pendapat khalayak ramai yang berkata, "Selesai dengan diri sendiri maka kamu siap menjalin relasi dengan pasanganmu." Sedihnya, manusia tidak dapat berubah dengan cepat atau instant sedangkan manusia membutuhkan manusia lain untuk membersamainya dalam lika-liku proses hidupnya. Pada bagian ini saya sepakat dengan pendapat Yandy Laurens (penulis dan sutradara) yang mengatakan, "Pernikahan itu mengekspos masa kecil yang gak selesai. Pernikahan itu menjadi tempat aman untuk ekspos semua hal, tidak ada penghakiman tapi adanya penerimaan." Jadi teringat juga kata Papa saya ketika beliau memberikan nasihat kepada saya Papa bilang, "Memilih teman hidup itu memilih orang yang kamu siap untuk "telanjang" segala sesuatu di hadapan dia baik fisik, emosi, bahkan keadaan rohani." Diri kita tidak akan pernah bisa selesai tanpa ada "Pribadi" yang penuh cinta membersamai. Iya saya berbicara mengenai dua pihak, Pribadi yang menciptakan kita yakni TUHAN, tetapi juga pribadi yang menjadi pasangan kita. Kehadiran pribadi lain bukan untuk mengatur atau mengotrol kita tetapi menunjukkan cinta dan membersamai perjalanan. Seandainya semua orang mengerti ini. Betapa indahnya kehidupan antar-personal.
Maka itu, terakhir namun yang terutama yakni tentang TUHAN. Banyak yang bilang Sore itu seperti TUHAN. Saya kurang sependapat. TUHAN tidak seperti Sore. Ia melebihi Sore. Ia melebihi waktu juga. Sebulan ini saya sedang melanjutkan, lebih tepatnya membaca ulang, buku karya Paulo Coelho dengan judul, Aleph. Buku ini berbicara mengenai keputusan, mengubah, pencarian jati diri, bertanya, dan sebagainya. Jadi, selama membaca buku ini dan menonton Sore semua puzzle seakan menyatu perlahan. Coelho mengatakan, "Siapa pun yang mengenal TUHAN tidak dapat menggambarkan-Nya. Siapa pun yang dapat menggambarkan TUHAN tidak mengenal-Nya." TUHAN bergerak melalui dan di dalam cinta, relasi, putaran waktu dan gambar diri. Kegigihan Sore dalam film ini sungguh mengingatkan saya berulang-ulang mengenai Hikmat yang ditulis dalam kitab Amsal 31:10-31, mengenai Puji-pujian untuk istri yang cakap. Saya percaya hikmat yang menuntun kita kepada cinta sejati, hikmat yang membuat kita memahami manusia lain dalam ikatan relasi, hikmat yang membuat kita menggunakan waktu dengan baik sebelum ia marah, dan hikmat yang membuat kita mengenal diri yang mengerikan ini. Hikmat dari, oleh, dan tentang TUHAN yang menuntun semuanya.
Saya bersyukur bisa menonton film Sore: Istri dari Masa Depan. Cakrawala berpikir filosofi saya terbuka lebih luas.
Belum lagi saya bicara mengenai sinematografi film ini BUAGUS POLL, Indonesia keren banget bisa bikin film seperti ini. Pengambilan gambar, sound effect, aduh saya belum berani review bagian ini karena saya bukan ahlinya. Semua review di sini personal dan melihat kehidupan sekitar. Namun, percayalah kalau kalian nonton di bioskop efeknya akan terasa sangat megah dan indah apalagi dibagian ending. Please banget sangat amat bagus!! Bukan hanya cerita yang bagus tapi every little detail, sangat memanjakan pancaindra manusia ini. Hufh... Bangga banget sama kemajuan dari karya anak bangsa ini.
Setelah selesai, Rian, sepupu saya benar-benar mendengarkan cerita saya yang penuh filosofi dan mendalam ini. Dia yang lebih terkesima dengan unsur seni yang dihasilkan lewat film itu, bersedia mendengar kedalaman-kedalaman cerita saya yang hanya dibalas dengan senyum atau perkataan, "Kamu mendalam banget ya" haha. Tentu tidak sedalam tulisan disini yang saya ceritakan ke dia, namun saya senang ada teman untuk mengeluarkan isi kepala dan kebawelan ini.
Satu lagi, saya berharap suami saya di masa depan, mau memperhatikan dirinya (dalam berbagai aspek) sebelum bertemu saya, supaya saya tidak harus menjadi Sore. Hmm, atau jangan-jangan Jo itu adalah saya ya? Ah semoga saya juga bisa memperhatikan diri (dalam berbagai aspek) dengan baik supaya tidak perlu ada 'Sore' versi laki-laki yang susah karena saya. Namun, kalau pun itu harus terjadi, semoga kami bisa memahami bahwa cinta itu mengenai percaya, menerima, memberi kesempatan, membersamai, dan mau hidup lebih baik.Saya ingin sekali bisa nonton lagi di layar lebar dengan orang yang berbeda dan bisa berdiskusi lebih mendalam mengenai film yang spektakuler ini. Kalau tidak sempat pun, saya mengira film ini akan menjadi salah satu film yang akan saya tonton lagi, lagi, lagi dan lagi.
Too good to be truth. Film terbaik karya anak bangsa versi saya di tahun 2025 ini.
Oke Sekian.
Hai, Aku Elsa, ..... !